Pemprov Aceh Bantah Kemendagri, Ingatkan Perjanjian 1992 soal 4 Pulau

Ketegangan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Perselisihan ini dipicu oleh klaim Kemendagri terkait status administrasi empat pulau di wilayah perairan Aceh. Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada awal Juni 2025, Kemendagri menyebut bahwa pulau-pulau tersebut masuk dalam yurisdiksi administratif Provinsi Sumatera Utara.

Namun, pernyataan itu langsung dibantah oleh Pemprov Aceh. Mereka menegaskan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian sah dari wilayah Aceh berdasarkan perjanjian yang telah disepakati sejak tahun 1992. Dalam bantahan resmi yang disampaikan oleh Juru Bicara Gubernur Aceh, pemerintah provinsi mengungkapkan bahwa klaim Kemendagri tidak sesuai dengan kesepakatan historis maupun fakta-fakta administratif yang tercatat dalam dokumen resmi negara.
Daftar Empat Pulau yang Dipersoalkan
Lokasi Strategis dan Kepentingan Ekonomi
Empat pulau yang menjadi sengketa ini adalah:
- Pulau Mangkir Besar
- Pulau Mangkir Kecil
- Pulau Lipan
- Pulau Panjang
Keempat pulau ini terletak di kawasan perbatasan laut antara Aceh dan Sumatera Utara, dan dikenal memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama dalam bidang perikanan, pertambangan laut, serta potensi pengembangan ekowisata. Keberadaan pulau-pulau ini juga sangat penting dari segi geopolitik karena terletak dekat dengan jalur pelayaran internasional di Selat Malaka.
Relevansi Sejarah dan Administrasi
Pemprov Aceh menyatakan bahwa sejak era Orde Baru, pulau-pulau tersebut telah dicatat sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Pencatatan itu bahkan diperkuat dalam sejumlah dokumen negara yang menjadi rujukan dalam penentuan batas wilayah antarprovinsi. Dalam penjelasannya, pihak Pemprov menyebut bahwa ketetapan tersebut bukan hanya berdasarkan peta, tapi juga dari hasil musyawarah antardaerah yang difasilitasi pemerintah pusat pada masa lalu.

Perjanjian 1992: Fondasi Hukum yang Diabaikan?
Isi dan Latar Belakang Perjanjian
Perjanjian 1992 yang kini menjadi pokok pembelaan Pemprov Aceh merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sebutan kala itu) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Dalam perjanjian tersebut, telah ditegaskan secara tertulis batas-batas administratif antara kedua provinsi, termasuk kedudukan pulau-pulau di wilayah perbatasan.
Perjanjian ini disebut melibatkan tim teknis dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), serta mendapatkan persetujuan dari Departemen Dalam Negeri saat itu. Kesepakatan ini mengikat secara administratif dan menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah.
Pengakuan dalam Dokumen Negara
Pemprov Aceh juga menunjukkan dokumen-dokumen penting seperti peta wilayah administratif tahun 1993, Surat Keputusan Gubernur tentang pengelolaan kawasan perbatasan, hingga dokumen perencanaan pembangunan daerah yang secara jelas mencantumkan keempat pulau tersebut sebagai wilayah Aceh Singkil.
Juru Bicara Pemprov Aceh menyayangkan jika Kemendagri sekarang terkesan mengabaikan fakta historis dan administratif tersebut, padahal dokumen-dokumen itu sudah menjadi bagian dari arsip nasional yang sah.

Reaksi Publik dan Tokoh Aceh
Pernyataan Ulama dan Tokoh Adat
Munculnya klaim sepihak dari Kemendagri langsung memicu kemarahan sejumlah tokoh masyarakat Aceh. Ulama kharismatik di wilayah Pantai Barat Selatan, Tgk. H. Abdul Karim, mengatakan bahwa tindakan pemerintah pusat bisa menjadi pemicu ketegangan sosial di tengah masyarakat.
“Pulau itu adalah milik Aceh, kami punya bukti sejarah, kami punya dokumen resmi. Kalau pusat mengingkari, maka ini bukan lagi persoalan administrasi, tapi pelecehan terhadap kedaulatan daerah,” tegasnya dalam sebuah ceramah Jumat.
Tokoh adat dari Aceh Singkil, Patuan Beringin, juga menyampaikan kekhawatiran bahwa masyarakat setempat bisa kehilangan hak akses atas sumber daya alam dan laut jika status administrasi keempat pulau tersebut digeser ke provinsi lain.
Respon dari Mahasiswa dan Aktivis
Di Banda Aceh, mahasiswa dari berbagai kampus melakukan unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan mendesak agar Gubernur Aceh membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka juga menuntut DPR Aceh agar segera membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengkaji ulang semua perjanjian yang pernah dibuat terkait batas wilayah provinsi.
Kemendagri Tetap pada Pendiriannya
Argumentasi Kemendagri
Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa penentuan wilayah administratif harus mengacu pada data geospasial terkini yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Dalam pernyataan tertulisnya, Kemendagri menyebut bahwa terjadi pergeseran garis batas akibat proses pemutakhiran data wilayah yang dilakukan pada 2022–2023.
Menurut mereka, data terbaru menunjukkan bahwa posisi geografis keempat pulau tersebut lebih dekat ke wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hal inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh pemerintah pusat untuk menyatakan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam Sumatera Utara.
Undangan Klarifikasi ke Jakarta
Sebagai langkah penyelesaian, Kemendagri mengundang Pemerintah Aceh untuk menghadiri rapat klarifikasi di Jakarta. Dalam undangan tersebut, Kemendagri menyatakan akan membuka semua data geospasial dan peta administratif untuk dibandingkan dan dibahas secara terbuka.
Namun, Pemerintah Aceh belum memberikan konfirmasi apakah akan memenuhi undangan tersebut.
Potensi Dampak dan Ancaman Disintegrasi
Ancaman Konflik Horizontal
Persoalan batas wilayah bukan hanya menyangkut peta, tetapi juga menyangkut identitas dan hak masyarakat atas tanah dan sumber daya. Jika tidak diselesaikan secara bijak dan transparan, sengketa ini bisa memicu konflik horizontal antara masyarakat di wilayah perbatasan.
Sejumlah tokoh masyarakat Sumatera Utara juga menyatakan keberatannya jika masalah ini menimbulkan kecurigaan antarwarga yang selama ini hidup damai. Oleh karena itu, penyelesaian yang adil dan berbasis hukum sangat diharapkan.
Implikasi Politik Lokal
Isu ini juga berpotensi dimanfaatkan dalam kontestasi politik lokal, terutama menjelang Pilkada Aceh 2025. Beberapa kandidat mulai memanfaatkan isu ini sebagai bagian dari kampanye mereka, dengan janji membela kedaulatan wilayah Aceh.
Jika tidak ditangani secara hati-hati, isu ini bisa menciptakan polarisasi politik yang memperkeruh proses demokrasi di daerah.
Solusi dan Jalan Tengah
Kajian Ulang Perbatasan oleh Lembaga Independen
Sejumlah pengamat menyarankan agar pemerintah pusat dan daerah menyepakati pembentukan tim independen yang melibatkan akademisi, ahli hukum tata negara, serta lembaga survei geospasial yang kredibel. Tim ini nantinya bertugas melakukan peninjauan ulang terhadap batas wilayah berdasarkan dokumen historis, fakta administratif, serta kondisi geografis terkini.
Peran Mahkamah Konstitusi dan DPR RI
Langkah hukum juga dapat ditempuh melalui pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau Judicial Review terhadap keputusan Kemendagri. Selain itu, DPR RI sebagai lembaga legislatif dapat memfasilitasi mediasi antara kedua provinsi untuk mencari solusi damai dan berkeadilan.
DPR RI diharapkan tidak memihak dalam isu ini, tetapi berdiri di tengah sebagai penengah yang adil.
Penutup: Jangan Main-main dengan Sejarah dan Kedaulatan Daerah
Persoalan empat pulau yang disengketakan antara Aceh dan Sumatera Utara bukan semata-mata soal batas peta. Di balik garis-garis itu terdapat sejarah, identitas, dan hak hidup masyarakat. Aceh, dengan sejarah otonomi khusus dan luka masa lalu yang belum sepenuhnya pulih, memandang langkah Kemendagri sebagai bentuk pengingkaran atas kesepakatan dan penghinaan terhadap integritas daerah.
Sementara itu, pemerintah pusat berkewajiban memastikan bahwa seluruh penetapan wilayah administratif dilakukan secara sah dan berdasarkan data yang valid. Oleh karena itu, solusi terbaik harus lahir dari dialog terbuka, bukan klaim sepihak.
Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama, membuka seluruh dokumen dan data yang relevan, serta menghormati hukum dan sejarah yang sudah menjadi bagian dari jati diri bangsa. Jika tidak, polemik ini berpotensi menjadi bara dalam sekam yang merusak tatanan persatuan nasional.
Dalam dunia yang semakin terhubung dan transparan, bermain-main dengan fakta sejarah dan kedaulatan daerah bukan lagi pilihan. Ini saatnya memilih: membangun keadilan yang bermartabat, atau terus melanggengkan ketidakpastian yang melemahkan negara.